Makalah Perlindungan Kekersan Terhadap Perempuan
Mata Kuliah :Kewarganegaraan
Dosen Pengampu :Suyato
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
SRIGITA DEWIYANA HERLYN : 16140074
OKVANI KARIN : 16140024
MAYA SARI : 16140025
ANGGIKA INDAH
P. : 16140121
APRILIA RETNO
SARI : 16140037
KELAS : B13.1
Prodi DIV Bidan Pendidik
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Respati
Yogyakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT bahwa kami telah menyelesaikan artikel
yang berjudul: Perlindungan Kekerasan Terhadap Perempuan walaupun masih jauh dari
kesempurnaan, namun saya bersyukur dapat selesai tepat waktu dan untuk itu
kami mengharapkan saran yang bersifat mem-bangun untuk perbaikan artikel ini.
Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memahami tentang kekerasan terhadap perempuan.Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai referensi yang berpengetahuan tentang pemahaman tentang
hukum perlindungan perempuan.
Adapun maksud dan tujuan menyusun makalah ini adalah untuk melengkapi dan menyelesaikan tugas yang diberikan pada mata kuliah Kewarganegaraan perlindungan kekerasan terhadap perempuan. Penulis berharap agar makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca makalah ini.
Adapun maksud dan tujuan menyusun makalah ini adalah untuk melengkapi dan menyelesaikan tugas yang diberikan pada mata kuliah Kewarganegaraan perlindungan kekerasan terhadap perempuan. Penulis berharap agar makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan.Dengan segala kerendahan hati kami berharap artikel
ini berguna dan bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan
terhadap perempuan membuat bangsa menjadi prihatin. Jumlah Kekerasan terhadap
Perempuan yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap
tahun. Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun ini adalah kekerasa psikis
dan seksual terjadi di tiga ranah yaitu keluarga atau relasi personal,
komunitas dan negara. Korban KDRT yang cukup menonjol berdasarkan data Komnas
Perempuan adalah kekerasan terhadap istri (99%). Dan usia korban cenderung
lebih muda (dari kelompok usia 13-18 tahun, usia anak). Karakretistik usia
pelaku sama dengan tahun sebelumnya. Dalam konteks gender, perempuan sering
menjadi piahk yang dipersalahkan, dianggap lemah. Dalam posisi demikian,
perempuan sering tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki laki dalam
memberikan pembelaan. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat
perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi masyarakat tentang
perempuan yang semestinya lemah lembut, penuh cinta, setia dan patuh apda
suami. Dalam penyelesaian konflik seringkali menonjolkan kekerasan berbasis
gender yang mengabaikan hak hak korban.
Penanganan
kasus kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban
adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab negara atas penegakan Hak
Asasi Manusia. Keberadaan lembaga pelayanan yang terus bermunculan dari waktu
ke waktu baik yang digagas oleh masyarakat maupun oleh pemerintah tidak
berbanding lurus dengan ketersediaan dan penyiapan perangkat pendukung, baik
dari sisi infrasruktur maupun sumberdaya manusianya termasuk anggaran. Situasi
ini yang menjadi tugas pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
perempuan. Sehingga masyarakat bisa mengetahui sejauh mana perempuan
mendapatkan perlindungan hukum.
B. Tujuan Penulisan
Mampu memahami secara menyeluruh
tentang tindak kekerasan pada wanita
C. Rumusan masalah
Berdasar
data Komnas Perempuan, angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan terus
muncul dari tahun ke tahun. Sehingga muncul permasalahan
1. Apa pengertian
kekerasan berbasis gender?
2. Tindakan apa
yang termasuk kekerasan terhadap perempuan?
3. Bagaimana bentuk
perlindungan hukum oleh pemerintah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kekerasan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan
Gender
adalah konstruksi sosial budaya atas jenis kelamin perempuan dan
laki-laki.sesuatu yang dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, kebutuhan
dan budaya.dicetuskan pertama kali oleh ann Oakley. Kekerasan berbasis gender
bersumber ideology gender yang diyakini penyebab kekerasan dari laki-laki
terhadap perempuan.
B.
Jenis jenis kekerasan terhadap perempuan
Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan
muncul, Semua perbuatan tersebut jelas telah melanggar UU No 39 tentang
Hak Asasi Manusia. Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia adalah negara
hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Kenyataan menunjukkan
bahwa berbagai aturan hukum yang sudah ada dan ditujukan bagi perempuan dan
anak belum memadai. Berbagai kendala yang harus dihadapi sangat kompleks
terutama ketika korban harus berhadapan di muka hukum. Bahkan ada kecenderungan
tidak berpihak pada perempuan maupun anak sebagai korban.
1. Kekerasan
seksual dan psikis
KDRT merupakn
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan. Data KDRT Komnas
perempuan Tahun 2009 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (96% dari
seluruh jumlah KDRT). sisanya mencakup kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan
yang dilakukan oaleh mantan pacar, mantan suami dan kekerasab pekerjaan rumah
tangga. KDRT bisa terjadi pada semua orang yang masih dalam lingkup satu rumah,
dan kebanyakan korbannya perempuan dan anak-anak. Namun, banyak kasus KDRT yang
tidah terungkap di muka hukum karena adanya banyak faktor, antara lain karena
masyarakat tidak mengetahui bahwa kekerasan yang dialami bisa diproses di muka
hukum, karena adanya ancaman oleh pihak tertentu sehingga menimbulkan rasa
takut atau pun karena rasa malu jika kasusnya diketahui umum, apalagi jika yang
terjadi adalah KDRT secara Psikis yang cenderung di abaikan dari pada KDRT
secara fisik. Sehingga baru setelah terjadi kekerasan yang berakibat fatal baru
dilaporkan. Perlu diketahui bahwa KDRT tidak hanya terjadi secara fisik saja,
melainkan dapat berupa psikis, seksual atau pun ekonomi. Fakta di masyarakat
menunjukkan masalah utama yang mendorong terjadinya KDRT adalah kurangnya
komunikasi antar pihak dalam keluarga, terlebih jika sudah menyinggung masalah
paling urgent yaitu ekonomi. Ditambah lagi jika
suami atau anggota keluarga memiliki watak temperamental tinggi yang cenderung
ringan tangan dalam menghadapi masalah. Di sinilah keadaan perempuan semakin
tertindas, acap kali menjadi pelampiasan kemarahan suami. Kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai tindak pidana KDRT pun menjadi pemicu semakin tumbuh suburnya
kekerasan yang cenderung mengintimidasi perempuan dan anak-anak tersebut.
Sehingga perlu adanya sosilalisasi dan relisasi UU No 23 tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT. Diharapkan korban KDRT segera melaporkan kepada
instansi yang berwajib atau kepada lembaga-lembaga masyarakat terkait kasus
yang menimpa mereka.
2. Kekerasan diranah komunitas
Mencakup kekerasan seksual, eksploitasi seksuala anak,
kekerasan tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja imigran adan
trafficking. Tempat kejadian beragam seperti tempat kerja, di tempat
penampungan (PJTKI), di dalam kendaraan, ditempat-tempat umum lainnya dan masih
banyak tempat lain.
a. Kekerasan yang
berkaitan dengan negara
terjadi karena dilakukan oleh aparat negara atau yang
terjadi karena kebijakan diskriminatif atau pengabaian yang dilakukan oleh
negara dalam beragam bentukkya.
b. Perempuan
pekerja imigran
Mereka merupakan salah satu tulang punggung pendapatan
negara dalam bentuk devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak
ekonomi keluarga .BNP2TKI sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab
mengatur lalu lintas penempatam pekerja migrant dan menjamin perlindungan HAM
pekerja migran, pada tahun 2009 menangani sekitar 7709 kasus. Persoalan tumpang
tindih kebijakan dan wewenang antara depnakertrans dan BNP2P2TKI belum dapat
terselesaikan. Persoalan yang mendasar yang belum menjadi pemerhati adalah
perihal sistem pendataan. sehingga untuk mendapatkan data resmi yang
komprehensif secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan
yang sangat sulit didapatkan. TErkait perlindungan TKI UU yang
mengatur Undang-Undang nomor 29/2009 tentang penempatan dan perlindungan
Tenaga Kerja Indonensia (TKI). Tetapi dalam peraturan tersebut, lebih banyak
mengatur mengenai penempatan TKI bukan perlindungan. Sehingga perlu direvisi.
c. Perkawinan yang
tidak dicatatkan
Terkait
Perkawinan diatur UU No 10 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sepanjang tahun 2009,
Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus yang berhubungan dengan
perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan perkawinan penting
dilakukan oleh pengantin sebagian jaminan kepastian hukum perkawinannya
sebagaimana diamanatkan pasal 2 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. kasus
kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan karena
berbagai alasan, yaitu :
1. Kebanyakan
alasan menikah tanpa dicatatkan adalah “kemudahan” bagi suami untuk menikahi
kembali perempuan lain, baik istri kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Mengatasi
perkawinan antar agama
3. Akibat dari
perkawinan todak dicatatkan, amka proses perceraian tidak dapat dilakukan
melalui proses peradilan. suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun
perkawinan mereka sudah dikarunia anak
4. Perceraian
terjadi karena suami tidak pulang ke rumah dan sulit dihubungi. kondisi ini
menbuat status hukum istri tidak jelas baik terkait harta gono gini atau
terkait hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan
posisi mantan istri yang ingin menikah lagi karena tidak ada akta nikah atau
cerai.
d. Akses perempuan
terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan
Pada
bulan april 2009 Komnas Perempuan menerima surat dari OMS Samitra Abhaya
kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan Komnas
perempuan atas kasus dikeluarkan PCM seorang siswi SMKN 8 Surabaya. Korban
dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengiktu UAN oleh pihak sekolah karena
telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan serta
tata tertib sekolah. pihak sekolah menyarankan korban untyuk mengikuti kejar
paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut[1].
Kasus
siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan yang
diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi yang bersangkutan
dari sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan
siswi hamil untul tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar
Konvensi hak anak yang telah diratifikasi dan telah diundangkan dalam UU
Perlindungan anak No 23 Tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan
pelanggaran hak anak ini sesungguhnya juga melanggar Convention on the
Elimination of All from discrimination Against Women (CEDAW) yang telah
diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Pengha[pusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
e. Kekerasan oleh
pejabat publik dan tokoh masyarakat
Angka
pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik atau tokoh
masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas perempuan meyakini bahwa masih
banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban untuk kasus
seperti itu belumlah terbangun, sehingga koeban memilih untuk bungkam.
Sementara di pihak pelaku dan ataun institusi di mana pelaku bekerja, termasuk
juga reaksi masyarakat ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman
atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian
kasus dari keadilan.
f. Kekerasan Media
: reality show rentang konflik dalam hubungan intim
Maraknya
tayangan reality show yang menampilkan konflik hubungan intim. di satu sisi
bisa dilihat sebagai asalah satu keberhasilan upaya gerakan permpuan di
Indonesia dalam mengavodkasi persoalan KDRT . Keberadan UU No 23 tahun 2004
membuat masyarakat melek terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang
bahwa membicarakan persoalan kekerasan dalam hubungan intim seperti kasus KDRT
buaknlah tabu dan dilarang. Dalam konteks bhubunhn gender dalam acara tersebut
perempuan sering menjadi pihak yang dipersalahkan. dalam posisi yang
dipersalahkan, peremouan sering tidak memiliki ruas yang sama luas dengan laki
laki dalam memberikan pembelaan. Dalam upaya penyelesain konflik acara reality
show justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak
hak korban, termasuk dalam menyalahkan korban. Mengingat komitmen negara
Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Maka Komnas perempuan mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan lensa keadilan gender.
Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk melakukan pendidikan
dan perubahan sosia; menuju tatanan masyarakat yang demokratis dan menjunjung
HAM bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang mengkerdilkan posisi dan
peran perempuan, apalagi mempermasalahkan perempuan korban kekerasan.[2]
C. Bantuan Hukum
kepada Perempuan korban kekerasan
Kegiatan
pemberian bantuan hukum merupakan salah satu faktor penting dalam menegakkan
hak asasi manusia dalam rangka menjaga dan menjamin tegaknya hak dan kewajiban
untuk mewujudkan suasana tertib. Pengakuan terhadap HAM terkait dengan
persamaan di muka hukum telah diatur dalam pasal 28D ayat 1 amandemen kedua UUD
1945, yang memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil dan perlakuan yang sama, bagi setiap orang. Bantuan hukum
adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan dengan jalan
memberikan pembelaan hukum kepada Pimpinan, Satuan Organisasi, anggota
masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk pembelaan secara langsung di muka
sidang Pengadilan. Kegiatan dapat melibatkan pihak lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam prakteknya lembaga bantuan hukum tidak saja
berurusan dengan soal-soal di meja hijau pengadilan, tetapi juga tidak
dapat mengelakkan diri untuk menangani pula masalah masalah penyalahgunaan
kekuasaan atau wewenang dari badamn atau pejabat pemerintah sendiri, bahkan
juga oleh yang lazim disebut sebagai oknum “alat negara”. Pemberian
bantuan hukum untuk menekankan tuntutan agar sesuatu hak yang telah
diakui oleh hukum akan tetapi yang selama ini tidak pernah diimplementasikan
untuk tetap di hormati. pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai
perwujudan akses terhadap keadilan, belum terpenuhi secara optimal. Bahwa perlu
jaminan penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma bagi orang miskin yang diatur
dengan UU. Adanya program bantuan hukum juga merupakan bagian yang terpenting
dari rekognisi dan perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum yang
dimaksud disini adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin
dan buta huruf adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang
merata. Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan
atau pendampingan dari seorang advokat (access to legal
counsel). Bahwa bantuan hukum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara
terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya
diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat
hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung
jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini,
advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang
kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat
yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan
pemenuhan hak dasar bantuan hukum tersebut.
Diperlukan
tenaga pendamping bantuan hukum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga
pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Para legal”, atau mereka yang
memiliki kecakapan khusus dibidang hukum dan dapat mendampingi masyarakat yang
membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus
mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya
dimonopoli oleh advokat semata.Pemberian bantuan hukum tersebut antara lain :
1. Komnas Perempuan
Adanya
Komnas Perempuan adalah sebagai bentuk perwujudan institusi HAM yang dibentuk
oleh negara untuk merespon isu isu hak-hak perempuan sebagai HAM. Mandat utama
Komnas HAM adalah mengupayakan adanay kebijakam yang melindunhi perempuan.
Komnas perempuan bukan merupakan lembaga yang menerima dan menangani langsung
korban kekerasan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh organisasi pendamping
korban. Ia memantau bagaimana kasus tersebut ditangani untuk memastikan lembaga
penyedia layanan di pemerintah dan masyarakat memenuhi hak hak korban. Komnas
Perempuan membangun mekanisme rujukan kasus dan membentuk unit rujukan untuk
membantu korban yang mencari informasi secara langsung ke Komnas perempuan atau
dengan melalui surat. Unit ini akan merujuk korban kepada lembaga penyedia
layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Komnas perempuan mengembangkan
perangkat pendokumentasian kasus dan membentuk mekanisme pelapor khusus, yaitu
seorang yang diberi mandat untuk mengembangkan mekanisme dan program
komperhensif untuk menggali data dan informasi serta pendokumentasian
pengalaman-pengalaman perempuan sehubungan dengan adanya kekerasan dan
diskriminasi. Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah
memiliki standar formulir pengisian data. Data standar yang dipantau adalah
tentang kondisi lembaga-lembaga pengada layanan, hambatan yang dihadapi dalam
pencatatan, juga dalam pelayanan berbagai kasus. Formulir tersebut kemudian
akan dievaluasi setiap tahun, dalam evaluasi setiap tahunnya Komnas perempuan
mengeluarkan catatan tentang kekerasan tersebut. Tujuannya adalah selain
mendapat masukan atas format formulir juga untuk meningkatkan kerjasama dan
komunikasi antar lembaga.Angka pelaporan terus muncul setiap tahun. Namun,
Komnas perempuan tetap meyakini bahwa masih banyak korban yang diam atau tutup
mulut, karena penanganan korban baik dari aspek hukum, sosial maupaun kebijakan
institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik. Terbukti
ditemuinya pola pengingkaran, pengabaiaan.
Mandat
utama Komnas Perempuan adalah mengupayakan adanya kebijakan yang melindungi
perempuan korban. Bersama dengan kelompok perempuan dan kelompok masyarakat
lainnya. Komnas Perempuan telah berhasil mendorong terbentuknya UU No 23 Tahun
2004 tetntang KDRT dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan
korban. Komnas perempuan terus berupaya agar UU yang tersedia tersebut dapat
diimplemmentasikan dan korban dapat mengakses perlindungan dan layanan
sebagaimana diamanatkan dalam UU tersebut.
2. Kelompok
kelompok pemerhati perlindungan terhadap perempuan :
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
|
Lembaga Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A)
|
|
Aliansi Peduli Perempuan
|
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBHK PEKKA)
|
|
Badan Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan
|
Lembaga swadaya Masyarakat (LSM)
|
|
Badan Nasional Penempatan dan perlindungn Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI)
|
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
|
|
Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (FOKBURAS)
|
Unit Pelayanan peempaun dan anak (UUPA)
|
|
Forum Peduli Anak Atambua (FPPA)
|
Women crisis centre (WCC)
|
|
Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS)
|
Pemerhari Buruh Migran Indonesia (PBMI)
|
|
Jarinan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia
(JARAK)
|
Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI)
|
|
Lembaga Bantuan Hukum
|
||
Lembaga kajian untuk transformasi Sosial (LKTS)
|
D. Kondisi
perlindungan hukum dari pemerintah
1. Negara mulai
melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan
baik ditingakt perundang-undangan (seperti UU PKDRT, PP no.4/2006) dan
kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP &PA, MoU 6 Lembaga, Perkapolri soal
HAM). namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap perempuan korban kekerasan
tersebut sudah terpenuhi, karena masih terkendala peraturan perundang-undangan
yang berlaku, seperi KUHP, KUHAP dan UU Pengadilan HAM, akses terhadap keadialn
yang diselesaikan oleh non negara dan budaya hukum aparat penegak hukum dan
masyarakat yang masih bias gender.
2. Negara belum
menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda diskriminatif dan bertentangan dengan
konstitusi, terutama terkait isu moralitas, termasuk draft qanun jinayat di
Aceh. Ada kecenderungan beberapa pemerintah daerah di dalam proses penyusunan
perda-perda diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi dengan perda
serupa di daerah lain.
3. Negara belum
membuat langkah langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja imigran,
terlihat masih belum ada sinkronisasi diantara pembuat kebijakan dalam
penanganan korban pekerja imigran, penyelesaian masih kasuistis dan masih belum
mengakomodasika data kuantitatif dari tingginya kasus kasus pelanggaran hak
asasi pekerka imigran terutama perempuan.
4. Negara belum
optimal mengupayakan pemuliahn hak korban pekerja migran yang bermasalah
khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan,
penghamilan dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya pemulihan saat
ini yang cenderung menangani persoalam per pekerjaan.
5. Negara masih
belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus sementara
(affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan
yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi peremouan terlihat masih
rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, belum optimalnya kebijakan
dan anggaran yang memberin perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak
asasi perempuan
6. Negara belum
memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya perempuan, sehingga masih
terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan status hukumnya[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbagai
permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul, Kekerasan terhadap
wanita atau perempuan merupakan perbuatan melanggar hukum dan hak
asasi manusia (HAM). Khusus kekerasan sebagai peristiwa pelanggaran hukum
dewasa ini sudah menjadi suatu fenomena faktual dalam
kehidupan masyarakat. Perlindungan hukum terhadap wanita perlu diberikan pada
korban yang umumnya lemah melawan laki-laki. Oleh karena itu
diperlukan berbagai pembenahan hukum bagi korban kekerasan tersebut. Secara
umum, negara harus mewujudkan komitmennya untuk pengahpusan kekerasan terhadap
perempuan berbasis komunitas dan negara secara sistematis dengan perspektif hak
asasi manusia dan perlindungan korban terutama perempuan.
C.
Saran
Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan hukum
seperti :
1. Negara melakukan
pendokumentasian kekerasan kekerasan terhadap perempuan secara nasional yang
dapat diakses oleh semua pihak dan harus menjadi dasar kebijakan nasional.
2. Negara
menghapuskan dan mencegah lahirnya perda perda diskriminatif, terutama yang
terkait dengan isu moralitas dan seksualitas.
3. Negara mensinkronkan
berbagai penghapusan peraturan untuk penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dengan perspesktif HAk Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan korban,
seperti revisi KUHP, KUHAP, UU Pengadilan
4. HAM dan membuat
RUU Bantuan Hukum; dan membangun budaya hukum aparat penegah hukum dan
masyarakat yang masih bias gender.
DAFTAR PUSTAKA
1 Rahayu, Hukum
Hak Asasi Manusia (HAM), 2010. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang,.
2. Rika
saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah tangga,
2006. Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
3. Komnas
Perempuan, Tak hanya di Rumah; Pengalaman Perempuan Akan Kekererasan Di
Pusaran Relasi Kekuasaan Yang Timpang, 2010. Jakarta.Komnas
perempuan.
4.
Ridwan Widyadharma,
Ignatius. Etika Profesi Hukum. 1996. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
5.
Ridwan
Widyadharma, Ignatius. Etika Profesi Hukum dan Keperanannya. 2001.
Semarang :Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
6.
Ridwan
Widyadharma, Ignatius. Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum. 2000.
Semarang : Mimbar.
8. http://www.lbh-makassar.org/?p=301
Komentar
Posting Komentar